Kegiatan penambangan timah di Indonesia telah berlangsung sejak 178 tahun lalu, berlokasi di sekitar Kepulauan Bangka, Belitung, Karimun dan Kundur, serta di wilayah pesisir timur Pulau Sumatera. Wilayah ini termasuk dalam jalur timah Indonseia (Indonesian Tin Belt) yang terbentang sepanjang 3.000 kilometer dari Myanmar bagian utara, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau dan membelah Kalimantan Barat. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah 16.424,142 km² dan jumlah penduduk sekitar 850.000 jiwa. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi tujuh wilayah, yakni Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Timur, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Berdasarkan data terakhir dari Departemen Pertambangan dan Energi, produksi logam timah di provinsi ini mencapai 44.495 ton per tahun atau senilai Rp 600 miliar lebih, yang dihasilkan dari dua perusahaan yang berada di wilayah Bangka Belitung, yaitu PT Tambang Timah dan PT Koba Tin. Konsekuensi logis dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas penambangan timah, yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung disebut kolong atau lobang camuy. Kolong pasca penambangan timah telah terjadi sejak penambangan timah dimulai, dan tersebar di beberapa kecamatan. Sistem penambangan yang dilakukan dapat dikelompokkan menjadi empat cara, yaitu tambang dengan tenaga manusia (manual mining), tambang semprot (hydraulic mining), kapal keruk darat (dredging mining) dan tambang terbuka (open pit mining). Dampak dari penambangan timah yang dilakukan di wilayah Bangka Belitung tersebut, menyebabkan terjadinya kolong dengan berbagai ukuran yang pada umumnya terisi air yang berasal dari air tanah, sungai dan air hujan, sebagimana layaknya reservoir alam. Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT Tambang Timah tahun 2003, jumlah kolong pasca penambangan timah di wilayah Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 hektar, yang terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 hektar di Pulau Bangka, dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 hektar di Pulau Belitung. Sebanyak 162 kolong telah dilakukan reklamasi, yakni 108 kolong di wilayah Pulau Bangka dan 54 kolong di wilayah Pulau Belitung. Berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam kegiatan reklamasi adalah akasia, albasia dan jambu mete. Sedangkan sebanyak 142 kolong telah ditimbun kembali setelah diberlakukannya sistem penambangan back filling (1992-1998), dimana setiap galian harus ditimbun kembali. Sisanya, yakni sebanyak 583 kolong belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain purun, rumbia, gelam, nipah, ilalang, cemara, sungkai dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih, memang sebagian besar atau sebesar 15,9 persen atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai reservoir dan sumber air, termasuk mandi dan mencuci. Namun, masih sedikit atau sebesar 4,28 persen atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air baku PDAM, dan rekreasi. Perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Bangka Belitung mau tidak mau akan mengemban tugas sebagai agent of development, dalam usaha pemberdayaan masyarakat melalui community development programme. Perusahaan pertambangan harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar kolong pasca penambangan timah. Oleh karena itu, dalam upaya pemberdayaan kolong yang produktif, dapat dilakukan sesuai keinginan dari masyarakat di sekitar kolong, dan keterlibatan pemerintah daerah sebagai lembaga yang memberi ijin dan fasilitas, serta rencana pengembangan wilayah terutama kebijakan tata ruang, dan pihak swasta lainnya yang berperan sebagai investor. Pola pemanfaatan kolong yang dapat dikembangkan antara lain adalah pola terpadu dengan konsentrasi pada kegiatan perikanan. Usaha perikanan ini dapat dilakukan pada kolong-kolong yang berusia lebih dari 15 tahun atau kolong yang mempunyai akses ke sungai dan laut. Karena berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas air kolong, permasalahn krusial dari kualitas air kolong yang berusia kurang dari 15 tahun dan tidak memiliki aksesibilitas ke sungai dan laut adalah kandungan logam berat terutama kandungan timbal (Pb), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Usaha perikanan yang dapat dikembangkan, utamanya bagi kolong-kolong yang memiliki akses jalan dan dekat dengan pemukiman antara lain, sistem jaring terapung atau usaha perikanan darat yang menggunakan sumber air baku dari kolong, dengan jenis-jenis ikan konsumsi yang cukup digemari dan mudah dibudidayakan, seperti lele, bawal, patin, mas atau tambak udang, bila kolong berdekatan dengan pantai. Dalam operasionalisasinya, pengembangan perikanan ini juga dapat diikuti dengan penataan lahan di sekitar kolong melalui pengembangan tanaman produktif, seperti tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L) yang berdasarkan hasil penelitian dosen dari Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, dapat tumbuh dengan baik pada lahan marjinal pasca penambangan timah. Pemanfaatan kolong sebagai usaha perikanan dan perkebunan ini dapat melibatkan masyarakat sekitar sebagai mitra. Selain dapat membantu mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan, pengembangan pola kemitraan inti dan plasma juga dapat memberikan manfaat bagi perusahaan, yakni melalui pemanfaatan biji jarak sebagai bahan bakar bagi operasional industri pertambangan menggantikan bahan bakar fosil, sekaligus membantu masyarakat mendapatkan bahan bakar minyak jarak sebagai pengganti minyak tanah yang belakangan sulit didapatkan, dengan harga terjangkau. Upaya yang dapat dilakukan antara lain memberikan bibit secara gratis kepada petani, memanfaatkan lahan bekas pertambangan dengan sistem tumpang sari dengan cara bagi hasil, melakukan pembinaan kepada para petani dan melakukan pendampingan selama proses produksi berlangsung, melakukan proyek percontohan atau memperkerjakan para pengangguran untuk melakukan reklamasi pada lahan-lahan milik perusahaan dengan sepenuhnya pembiayaan dari pihak perusahaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dapat juga dikembangkan usaha pariwisata dengan merangkul pihak swasta lainnya sebagai investor, antara lain melalui pembuatan bangunan sebagai tempat peristirahatan di sekitar kolong yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana rekreasi, seperti akses jalan yang memadai, alat transportasi dan komunikasi yang memadai, arena bermain anak-anak, wisata air seperti pemancingan ikan, wisata perahu hingga usaha penangkaran buaya. Usaha penangkaran buaya selain bertujuan melestarikan buaya, juga dapat diambil manfaatnya sebagai penghasil kulit buaya untuk keperluan bahan baku pada industri kerajinan. Buaya-buaya yang akan ditangkarkan ini, dapat diambil dari alam karena buaya masih dapat dijumpai di perairan Bangka Belitung secara bebas. Sedangkan bagi kolong-kolong yang keberadaanya cukup jauh dari pemukiman, dapat dimanfaatkan sebagai lahan reklamasi dengan jenis tanaman perkebunan lainnya, seperti karet, kelapa sawit dan jambu mete. Alternatif lainnya, sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Dengan keterlibatan berbagai pihak, yakni masyarakat, pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, swasta dan lembaga independen, diharapkan kolong-kolong pasca penambangan timah akan dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Semoga ! |
Oleh Endang Bidayani, SPi - Dosen FPPB UBB |
Kamis, 04 Maret 2010
Pemberdayaan Kolong Bekas Galian Tambang Timah Sebagai Usaha Perikanan Terpadu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selamat Datang
Selamat Datang di Blog Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karimun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar