Rabu, 25 Agustus 2010
40 Ton Rumput Laut Dikirim Ke Batam
Jumat, 20 Agustus 2010
Petani Rumput Laut Lega
Selasa, 29 Juni 2010
Selasa, 09 Maret 2010
Profil UPTD Meral
Foto Pelatihan Pembenihan Ikan Laut Ekonomis
Pelatihan Pembenihan Ikan Laut Ekonomis di BBL Batam
Moro Jadi Perkampungan Minapolitan
Jumat, 05 Maret 2010
Foto Pelatihan Di BBL Batam
Kamis, 04 Maret 2010
Ucapan Duka Cita
Pimpinan dan Seluruh Staf
Pemberdayaan Kolong Bekas Galian Tambang Timah Sebagai Usaha Perikanan Terpadu
Hadiah Tahun Baru dari Fadel Muhammad
PEMANFAATAN LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
Abstrak Kegiatan penambangan timah di darat telah lama berlangsung terutama di Pulau Bangka, Belitung dan Singkep. Dampak dari operasi penambangan adalah penurunan sifat-sifat fisik dan kimia tanah, perubahan topografi lahan, hilangnya vegetasi alami, berkurangnya habitat satwa liar. Lahan pasca tambang timah didominasi oleh hamparan tailing, overburden, dan kolong. Tailing timah mempunyai karakterisitik fisika dan kimia tanah serta kondisi iklim mikro yang jelek. Untuk memanfaatkan kembali lahan pasca tambang timah, terutama lahan tailing perlu dilakukan reklamasi dan rehabilitasi. Berbagai aplikasi teknologi telah dan akan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Sejumlah spesies tumbuhan spesifik lokal, tanaman eksotik seperti akasia, dan tanaman budidaya dikembangkan sebagai tanaman untuk revegatasi lahan pasca tambang timah. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada manfaat ekonomis yang secara nyata dirasakan oleh masyarakat dari reklamasi tersebut. Pendahuluan Pembangunan memerlukan sumberdaya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah satu sumberdaya mineral yang dimiliki Indonesia adalah bijih timah dengan kandungan stanium (Sn). Menurut Noer (1998), kasiterit (SnO2) adalah mineral utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Sujitno (2007) menjelaskan kegunaan timah antara lain untuk bahan pencampur dalam pembuatan alat-alat musik (seperti gong gamelan, dan lonceng), bahan pembuat kemasan kaleng, bahan solder, senjata (peluru), fire retardant, bahan pelapis anti karat, dan kerajinan cindera mata (pewter). Endapan timah di Indonesia merupakan lanjutan dari salah satu jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata (Noer, 1998). Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT. Timah Tbk., 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Dari luas Pulau Bangka 1.294.050 ha, sebesar 27,56 % daratan pulau ini merupakan areal Kuasa Penambangan (KP) timah. PT. Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk,) menguasai lahan seluas 321.577 ha dan PT. Kobatin seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan (KP) timah juga diberikan kepada perusahaan swasta, Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha (Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2007). Penambangan timah lepas pantai dilakukan dengan teknologi kapal keruk (Departemen Pertambangan dan energi, 1998) sedangkan penambangan timah di darat dilakukan dengan sistem tambang semprot, tambang dalam dan kapal keruk darat (Sujitno, 2007). Tahapan utama penambangan timah dengan sistem terbuka (open pit) meliputi pembukaan permukaan lahan dari penutupan vegetasi (land clearing), pengupasan tanah bagian atas (stripping), penggalian, pembuatan dam, pencucian, dan pembuangan bahan padat sisa hasil pencucian timah (tailing) (PT. Timah Tbk, 1991). Kegiatan operasi tambang berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup. Menurut Sujitno (2007), dampak kegiatan ini terutama perubahan drastis atas sifat fisik dan kimia tanah. Setiadi (2006) menambahkan dampak tersebut termasuk gangguan terhadap vegetasi, hewan dan tanah yang ada, serta ekosistem alami. Dampak kehilangan vegetasi dan degradasi lahan secara potensial dapat menyebabkan erosi tanah, kehilangan biodiversitas, berkurangnya habitat hewan liar, dan degradasi daerah penampung air. Pertambangan adalah kegiatan dengan penggunaan lahan yang bersifat sementara, oleh karena itu lahan pasca tambang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif lain. Untuk memanfaatkan lahan pasca tambang maka harus ada upaya untuk memulihkan kembali lahan yang telah rusak akibat dari kegiatan penambangan. Upaya perbaikan lahan bekas tambang dilakukan melalui program reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang. Dampak Penambangan Timah Kegiatan penambangan di darat berpengaruh terutama pada sifat fisik dan kimia tanah. Perubahan struktur tanah terjadi akibat penggalian top soil untuk mencapai lapisan bertimah yang lebih dalam. Pembuatan dam (phok) telah mengubah topografi dan komposisi tanah permukaan akibat digunakannya tanah overburden sebagai sarana penimbun. Top soil musnah karena tertimbun tailing atau terendam genangan air (Sujitno, 2007). Lebih lanjut Sujitno (2007) menjelaskan, pemandangan umum yang dijumpai pada lahan bekas tambang timah berupa kolong (lahan bekas penambangan yang berbentuk semacam danau kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), timbunan liat hasil galian (overburden), dan hamparan taling yang berupa rawa atau lahan kering. Latifah (2004) mengindikasikan bahwa sejalan dengan waktu, timbunan tailing akan membentuk hamparan tailing yang semakin luas. Kolong yang terbentuk pada proses penambangan skala besar umumnya tidak memunginkan untuk ditimbun sehingga menjadi semacam danau buatan. Sejauh ini pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar hanya dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam retensi dan water catchment area untuk menampung hujan yang mengalir melalui aliran permukaan. Secara ekonomi, potensi kolong untuk dimanfaatkan sebagai sumber air baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air Belum banyak dilakukan, baik oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga pemanfaatan lahan tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas di�hijau�kan dengan tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama akasia. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi: (1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan (2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006). Menurut Sujitno (2007), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi. Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi. Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang ((Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Menurut Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Penambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46 ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. Pada Pasal 46 ayat (5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum meninggalkan bekas wilayah KP. Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum. Pada Pasal 12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada Pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan. Pemanfaatan Lahan Pasca Tambang Timah Berbagai upaya telah dilakukan untuk memanfaatkan tailing timah. Penanaman dengan tanaman hortikultura dan tanaman pangan telah berhasil. Sejumlah area digunakan untuk pemukiman, sementara areal lain dikonversi menjadi taman rekreasi (Majid et al, 1994). Sekitar 80 % dari tailing timah merupakan sand dan sisanya slime dan sandy slime. Slime tailing merupakan hamparan permukaan yang lebih baik dibandingkan sand tailing untuk pertanian karena drainasenya baik. Sand tailing sangat tidak subur dan tidak cocok untuk budidaya tanaman. Hanya sebagian kecil dari lahan tidak subur tersebut yang dimanfaatkan untuk peternakan, penanaman sayuran, dan buah (Ang, 1994). Sujitno (2007) melaporkan sejumlah tanaman sudah pernah dicoba perusahaan maupun masyarakat untuk memanfaatkan lahan tailing timah di Pulau Bangka, Belitung dan Singkep. Tanaman tersebut antar lain kelapa, jambu monyet, pisang, ubi, pepaya, kacang tanah, dan sayuran. Budidaya tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha peternakan ayam yang merupakan sumber bahan organik bagi lahan ini. Menurut Majid et al. (1994), produksi pertanian di tailing timah sangat intensif dan membutuhkan masukan modal yang besar dan tentu saja sulit terjangkau oleh petani umumnya. Penggunaan pohon, terutama spesies pohon multiguna (multipurpose tree species, MPTS) seperti Acacia mangium, Acacia auriculiformis dan Leucaena diversifolia telah digunakan untuk silvikultur di lahan bekas tambang di Semenanjung Malaysia sejak 1987. Luas tailing timah yang harus di reklamasi di negara tersebut diperkirakan 202.700 ha atau sekitar 1,5% dari total daratan semenanjung Malaysia ((Awang, 1994). PT. Timah Tbk selaku perusahaan pertambangan timah utama di Indonesia mulai melakukan penelitian secara sistematis dan ilmiah untuk revegetasi lahan pasca tambang timah pada tahun 1982 bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Selanjutnya revegetasi dilakukan dengan menggunakan tanaman akasia (A. mangium dan A. auriculiformis), gamal dan sengon (Sujitno, 2007). Revegetasi selama lebih dari 6 tahun dengan A. mangium di lahan pasca tambang PT. Timah Tbk dikategorikan berhasil (Latifah, 2000). Sampai dengan April 2001, PT. Timah Tbk. telah mereklamasi sekitar 5.251. ha di Pulau Bangka dan Belitung (PT. Timah Tbk., 2002). Sejak tahun 2001, perusahaan ini untuk sementara menghentikan program reklamasinya karena lahan-lahan yang telah direklamasi ditambang kembali secara illegal oleh masyarakat setempat. Program tersebut baru dilaksanakan kembali pada tahun 2007 melalui pencanangan program �Green Babel�. Sementara itu, PT. Koba Tin sudah mulai melakukan upaya reklamasi dan revegetasi pada tahun 1976 dengan melakukan berbagai percobaan. Semenjak tahun 1988-1989, perusahaan telah mulai kegiatan reklamasi dengan penanaman tanaman pohon seperti akasia, sengon dan gelam (Setiawan, 2003). Sampai tahun 2002, PT. Koba Tin telah mereklamasi 3.304 ha lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Tengah (PT. Koba Tin, 2003 in Nurtjahya, 2003). Alternatif Komoditi Ditinjau dari aspek konservasi lahan, revegetasi dengan menggunakan jenis MPTS telah dilakukan berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambang serta mampu mencegah erosi. Akan tetapi, sangat disayangkan tanaman yang dikembangkan belum memberikann manfaat secara ekonomi, baik bagi perusahaan maupun masyarakat setempat. Oleh sebab itu perlu dikembangkan spesies lain yang bernilai ekonomis lebih tinggi, seperti tanaman pangan, buah, industri dan tanaman perkebunan. Gofar et al. (1999) dan Naning et al (1999) telah melakukan penelitian terhadap tanaman jagung sedangkan Hanura (2005) terhadap tanaman kedelai. Sementara itu Santi (2005) meneliti pengembangan tanaman nilam. Sejak tahun 2006, PT. Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk.) membuat demplot budidaya jarak pagar (Jatropha curcas L.) di beberapa lahan bekas tambang, dengan bekerjasama dengan Universitas Bangka Belitung (PT. Timah Tbk, 2006). Penelitian-penelitian serupa untuk komoditi lain perlu terus diintensifkan agar manfaat ekonomis dari hasil reklamasi dan revegetasi dapat dinikmati oleh masyarakat pasca era kejayaan timah. Riset terapan yang memfokuskan pada satu komoditi yang dianggap prospektif untuk memperoleh paket teknologi reklamasi yang paripurna, murah dan sederhana. Terdapat banyak komoditi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif, terutama tanaman-tanaman buah dan perkebunan. Tanaman buah yang telah banyak ditanam di pekrangan rumah seperti mangga dan jeruk di beberapa lokasi berhasil tumuh dan berproduksi dengan baik di tanah bekas tambang. Selain pilihan komoditi, pengembangan teknologi reklamasi tambang timah juga perlu menekankan pada pemanfaatan bahan organik yang tersedia secara lokal, misalnya limbah padat dan cair pengolahan kelapa sawit, limbah cair pengolahan karet, kompos yang berasal dari sampah kota, kompos dari sisa-sisa tanaman pada suatu pembukaan lahan, dan sebagainya. Hal ini perlu dilakukan, karena selain bahan-bahan tersebut belum dimanfaatkan, juga untuk menekan biaya reklamasi terutama biaya penambahan bahan organik pada tailing timah yang cukup tinggi. Kesimpulan 1. Lahan pasca tambang timah merupakan lahan marjinal yang mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia serta iklim mikro yang jelek, sehingga untuk memanfaatkannya kembali diperlukan upaya reklamasi dan revegetasi lahan. 2. Reklamasi lahan pasca tambang timah secara hukum wajib dilaksanakan oleh perusahaan tambang timah sebagai wujud tanggung jawabnya untuk memulihkan kembali lahan yang telah mengalami degradasi akibat operasional tambang. 3. Kegiatan revegetasi lahan tailing timah telah dilakukan dengan menggunakan spesies asli setempat (native species), spesies pohon multiguna (multipurpose tree species), dan tanaman budidaya. 4. Sejumlah bidang penelitian mempunyai prospek untuk diteliti lebih lanjut untuk meningkatkan keberhasilan reklamasi, baik secara teknis, ekologis maupun ekonomis. Oleh : Ir. Ismed Inonu, MSi
|
Pemberdayaan Kolong Bekas Galian Tambang Timah Sebagai Usaha Perikanan Terpadu
Kegiatan penambangan timah di Indonesia telah berlangsung sejak 178 tahun lalu, berlokasi di sekitar Kepulauan Bangka, Belitung, Karimun dan Kundur, serta di wilayah pesisir timur Pulau Sumatera. Wilayah ini termasuk dalam jalur timah Indonseia (Indonesian Tin Belt) yang terbentang sepanjang 3.000 kilometer dari Myanmar bagian utara, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau dan membelah Kalimantan Barat. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah 16.424,142 km² dan jumlah penduduk sekitar 850.000 jiwa. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi tujuh wilayah, yakni Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Timur, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Berdasarkan data terakhir dari Departemen Pertambangan dan Energi, produksi logam timah di provinsi ini mencapai 44.495 ton per tahun atau senilai Rp 600 miliar lebih, yang dihasilkan dari dua perusahaan yang berada di wilayah Bangka Belitung, yaitu PT Tambang Timah dan PT Koba Tin. Konsekuensi logis dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas penambangan timah, yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung disebut kolong atau lobang camuy. Kolong pasca penambangan timah telah terjadi sejak penambangan timah dimulai, dan tersebar di beberapa kecamatan. Sistem penambangan yang dilakukan dapat dikelompokkan menjadi empat cara, yaitu tambang dengan tenaga manusia (manual mining), tambang semprot (hydraulic mining), kapal keruk darat (dredging mining) dan tambang terbuka (open pit mining). Dampak dari penambangan timah yang dilakukan di wilayah Bangka Belitung tersebut, menyebabkan terjadinya kolong dengan berbagai ukuran yang pada umumnya terisi air yang berasal dari air tanah, sungai dan air hujan, sebagimana layaknya reservoir alam. Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT Tambang Timah tahun 2003, jumlah kolong pasca penambangan timah di wilayah Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 hektar, yang terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 hektar di Pulau Bangka, dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 hektar di Pulau Belitung. Sebanyak 162 kolong telah dilakukan reklamasi, yakni 108 kolong di wilayah Pulau Bangka dan 54 kolong di wilayah Pulau Belitung. Berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam kegiatan reklamasi adalah akasia, albasia dan jambu mete. Sedangkan sebanyak 142 kolong telah ditimbun kembali setelah diberlakukannya sistem penambangan back filling (1992-1998), dimana setiap galian harus ditimbun kembali. Sisanya, yakni sebanyak 583 kolong belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain purun, rumbia, gelam, nipah, ilalang, cemara, sungkai dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih, memang sebagian besar atau sebesar 15,9 persen atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai reservoir dan sumber air, termasuk mandi dan mencuci. Namun, masih sedikit atau sebesar 4,28 persen atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air baku PDAM, dan rekreasi. Perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Bangka Belitung mau tidak mau akan mengemban tugas sebagai agent of development, dalam usaha pemberdayaan masyarakat melalui community development programme. Perusahaan pertambangan harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar kolong pasca penambangan timah. Oleh karena itu, dalam upaya pemberdayaan kolong yang produktif, dapat dilakukan sesuai keinginan dari masyarakat di sekitar kolong, dan keterlibatan pemerintah daerah sebagai lembaga yang memberi ijin dan fasilitas, serta rencana pengembangan wilayah terutama kebijakan tata ruang, dan pihak swasta lainnya yang berperan sebagai investor. Pola pemanfaatan kolong yang dapat dikembangkan antara lain adalah pola terpadu dengan konsentrasi pada kegiatan perikanan. Usaha perikanan ini dapat dilakukan pada kolong-kolong yang berusia lebih dari 15 tahun atau kolong yang mempunyai akses ke sungai dan laut. Karena berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas air kolong, permasalahn krusial dari kualitas air kolong yang berusia kurang dari 15 tahun dan tidak memiliki aksesibilitas ke sungai dan laut adalah kandungan logam berat terutama kandungan timbal (Pb), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Usaha perikanan yang dapat dikembangkan, utamanya bagi kolong-kolong yang memiliki akses jalan dan dekat dengan pemukiman antara lain, sistem jaring terapung atau usaha perikanan darat yang menggunakan sumber air baku dari kolong, dengan jenis-jenis ikan konsumsi yang cukup digemari dan mudah dibudidayakan, seperti lele, bawal, patin, mas atau tambak udang, bila kolong berdekatan dengan pantai. Dalam operasionalisasinya, pengembangan perikanan ini juga dapat diikuti dengan penataan lahan di sekitar kolong melalui pengembangan tanaman produktif, seperti tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L) yang berdasarkan hasil penelitian dosen dari Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, dapat tumbuh dengan baik pada lahan marjinal pasca penambangan timah. Pemanfaatan kolong sebagai usaha perikanan dan perkebunan ini dapat melibatkan masyarakat sekitar sebagai mitra. Selain dapat membantu mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan, pengembangan pola kemitraan inti dan plasma juga dapat memberikan manfaat bagi perusahaan, yakni melalui pemanfaatan biji jarak sebagai bahan bakar bagi operasional industri pertambangan menggantikan bahan bakar fosil, sekaligus membantu masyarakat mendapatkan bahan bakar minyak jarak sebagai pengganti minyak tanah yang belakangan sulit didapatkan, dengan harga terjangkau. Upaya yang dapat dilakukan antara lain memberikan bibit secara gratis kepada petani, memanfaatkan lahan bekas pertambangan dengan sistem tumpang sari dengan cara bagi hasil, melakukan pembinaan kepada para petani dan melakukan pendampingan selama proses produksi berlangsung, melakukan proyek percontohan atau memperkerjakan para pengangguran untuk melakukan reklamasi pada lahan-lahan milik perusahaan dengan sepenuhnya pembiayaan dari pihak perusahaan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dapat juga dikembangkan usaha pariwisata dengan merangkul pihak swasta lainnya sebagai investor, antara lain melalui pembuatan bangunan sebagai tempat peristirahatan di sekitar kolong yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana rekreasi, seperti akses jalan yang memadai, alat transportasi dan komunikasi yang memadai, arena bermain anak-anak, wisata air seperti pemancingan ikan, wisata perahu hingga usaha penangkaran buaya. Usaha penangkaran buaya selain bertujuan melestarikan buaya, juga dapat diambil manfaatnya sebagai penghasil kulit buaya untuk keperluan bahan baku pada industri kerajinan. Buaya-buaya yang akan ditangkarkan ini, dapat diambil dari alam karena buaya masih dapat dijumpai di perairan Bangka Belitung secara bebas. Sedangkan bagi kolong-kolong yang keberadaanya cukup jauh dari pemukiman, dapat dimanfaatkan sebagai lahan reklamasi dengan jenis tanaman perkebunan lainnya, seperti karet, kelapa sawit dan jambu mete. Alternatif lainnya, sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Dengan keterlibatan berbagai pihak, yakni masyarakat, pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, swasta dan lembaga independen, diharapkan kolong-kolong pasca penambangan timah akan dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Semoga ! |
Oleh Endang Bidayani, SPi - Dosen FPPB UBB |
Kamis, 18 Februari 2010
Ucapan Duka Cita
Musa Sarjono, BA (alm)
Ayahanda Dari :
Tg. Balai Karimun, 17 Februari 2010
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Karimun
dto
Ir. Hazmi Yuliansyah, M.Si
19610129 198903 1 001
Selasa, 16 Februari 2010
Profil Bupati Karimun
(Bupati Karimun)
Pulau Moro di Kepulauan Riau boleh jadi merupakan kenangan indah baginya, karena sejak masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa dia tinggal di pulau itu. Dari pulau Moro inilah tertanam kecintaannya terhadap laut. Sebab pulau yang ketika itu merupakan bagian dari Kecamatan Karimun, merupakan basis nelayan tangkap dan tempat pengumpulan ikan yang diekspor ke Negeri Singa, Singapura.
Nurdin muda mengawali karirnya dari bawah, menekuni profesi pelaut sebagai ABK biasa hingga menjadi kapten. Selanjutnya dia mulai berbisnis dan akhirnya memiliki beberapa armada pengangkut ikan. Dari sinilah namanya mulai dikenal masyarakat hingga mengantarkannya menjadi orang nomor 1 di Kabupaten Karimun.
Mengisi Visi Azam peningkatan ekonomi kerakyatan yang sangat menitikberatkan pada sector pertanian, kelautan dan perikanan, dia telah melakukan banyak hal, mulai dari pendirian sekolah kejuruan khusunya Perikanan, program bantuan alat tangkap bagi nelayan, pengemabangan sarana dan prasarana perikanan dan juga budidaya perikanan.
Pria yang ramah ini sepenuhnya sadar bahwa pembangunan suatu daerah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas. Program sebaik apapun, tanpa dukungan sumber daya manusia yang mantap niscaya akan mengalami kendala. Dengan tatapan mata kedepan dan semua keterbatasan yang ada dia berusahan keras meningkatkan kualitas sumber daya manusia setempat, terutama aparatur di lingkunagan Pemda Kabupaten Karimun. Berkat dorongan dan dukungan kuatnya saat ini hamper 10% Pegawai Pemda Kabupaten Karimun berlatar belakang pendidikan S2. Inilah wujud kepedualiannya terhadap dunia pendidikan. Tidak saja pendidikan tinggi, tapi mulai dari Taman Pendidikan Al-Qur’an hinga jenjang-jenjang berikutnya. Bahkan, dia berhasil mewujudkan sebuah Universitas di Kabupaten Karimun.
H. Nurdin Basirun melaksanakan kebijakan pembangunan dengan berpedoman pada empat azam Kabupaten Karimun, yakni :
1. Azam Peningkatan Iman dan Taqwa
Melalui berbagai program, salah satunya adalah pendirian Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) bagi anak usia dini disetiap unit terkecil pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga kecamatan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Karimun juga memberikan insentif kepada para guru TPQ di Kabupaten Karimun sebanyak 245, dengan 1.199 guru dan 13.800 santri.
2. Azam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia,
Dimana wujud nyatanya adalah pendirian berbagai lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, serta pemberian beasiswa bagi pelajar berprestasi.
3. Azam Peningkatan Ekonomi Kerakyatan
Yang difokuskan pada peningkatan taraf hidup nelayan melalui pemberian bantuan alat tangkap, bibit ikan untuk budidaya, sarana dan prasarana perikanan, kredit usaha, dan lain-lain.
4. Azam Pengembangan Seni dan Budaya,
Dengan menggali berbagai potensi kebudayaan dimasyarakat dengan menggelar berbagai festifal yang pada akhirnya mengantarkan kegiatan kebudayaan Kabupaten Karimun berpentas di panggung nasional maupun internasional mewakili Propinsi Kepulauan Riau.
Takdiragukan lagi, sosok Nurdin Basirun sangat dicintai rakyatnya, kemanapun dia melangkahkan kaki, tak kan pernah lepas dari pandangan mata penuh harap akan secercah cahaya, sebagaimana nama yang disandangnya.